29.9.12

Ruang Renung Hasan Aspahani


Ruang Renung #255


"APA yang harus ada di kepala saat seseorang menulis puisi? Apakah ia harus menentukan ia hendak menulis sajak liris atau sajak protes? Apakah ia hendak menulis untuk dirinya sendiri atau untuk siapa yang kelak membaca sajaknya? Apakah ia harus menimbang-nimbang apa kelak reaksi pembaca atas sajaknya? Apakah ia harus menimbang apakah sajaknya nanti membuatnya masuk penjara? 

Saya bilang, lupakan saja semua itu. Menulislah saja tanpa beban. Ingat, menulis adalah bagian dari upaya kita mencintai puisi. Maka, menulislah seakan hanya ada kau dan puisi. Layanilah kehendak puisi dengan sebaik-baiknya. Puaskanlah puisi. Menulislah tanpa peduli siapa dirimu dan bahkan saat itu lupakan saja apa itu puisi."

- Hasan Aspahani

0 komen

24.9.12

Kelompok Doa Pagi September Dua Puluh Empat

Pagi ini kelihatannya banyak sekali doa doa bergantungan, berlegaran lemah di dada langit; yang terbang malam semalam tapi tak ketemukan jalan menuju tuhan. Barangkali dari tuhan tiada permisi dan bertemu mereka ia enggan atau langit sengaja dengki dan tidak mahu memberi jalan? Kelompok doa itu pula ada yang warnanya merah berbelang putih, ada yang hitam dengan cop meriam, bahkan ada doa yang sewarna langit. Milik siapakah agaknya doa doa itu?

0 komen

18.9.12

Apa Khabar, Tiang Lampu?

Selamat petang, tiang lampu.
Di sisi jalan berdebu, engkau tunduk malu malu atau sebenarnya engkau penat?
Wahai, apa mentolmu sihat?
Cahayanya masih cerah atau samar pucat?
Lihat engkau, badanmu berkarat
Semoga cuaca kasihan padamu dan dia redup redup selalu
Aku? Ah, aku masih aja seperti dulu
Makanku tak ada berlebih, sakitku tak ada berkurang
Perit perih binatang terbuang, hitam dan dibenci orang
Tak mengapalah tiang lampu, angin pun sudah menyonsang petang, sekejap lagi matahari hilang
Aku tak bisa berlama lama, ada sampah perlu ku hadam, ada bangkai perlu ku tanam
Dan dengan itu, selamat tinggal tiang lampu
Jagalah diri, aku terbang dulu
Semoga nanti  kita akan bertanya khabar lagi.

1 komen

16.9.12

Apa Khabar, Hujan?

Selamat pagi hujan. Sudahkah engkau sarapan? Aku bukan bermimpi; kau nyata tiba sepagi ini, mau bertemu siapa? Jalan rumahku yang berdebu, rumput ilalangnya itu atau rindumu sebenarnya pada aku? Katakan hujan, tak perlu malu. Bahkan aku selalu suka mendengarkan rintik rintih rindumu itu. Kerna tahukah engkau hujan? akupun selalu mengingatimu. Iri pada layang layang, sesekali jatuh dengki pada kapal dan burung yang terbang. Ah, betapa bodohnya, betapa aku menjadi bukan bukan, aku cemburu pada mereka yang mudah mudah dekat padamu. Kerana aku, hanya mampu memasang angan dan memandang ke langit berawan lalu berdoa; semoga engkau di atas tidak lupa dan lekas lekas jatuh ke pangkuan. Ah, dan kini akulah yang paling bahagia, hujan. Doaku dimakbul tuhan. Kau nyata, ada di depan mata, lalu diam lah di dalam dakapan. Saling bersuap suap sarapan dan barangkali menyambung mimpi kemudian...


0 komen

15.9.12

SKYJUICE DI #JBWRF

Silakan mencarinya kalau kalau anda kesana. Tanyakan pada saudara @fikrikacak, yang menjualnya juga yang membuatkan buku kecil ini berhasil; Skyjuice judulnya. Silakan membelinya kalau kalau anda dahaga. Terima kasih.

0 komen

13.9.12

Selamat Jam Bekerja

Selamat jam tujuh hampir separuh bukan lagi subuh. Lihat masa berkayuh, perlahan dan menjauh. Turunkanlah sauh, mimpi ini harus berlabuh.

Selamat jam lapan sudah suku hampir sembilan. Saya memulai pagi dengan menghirup pahit asap. Kopi tuan puan, manis, saya harap.

Selamat jam lapan begitu lambat mahu sembilan. Di pejabat ini saya hamba kerja. Kerusi dan meja menggelangi, pen dan kertas memerintahi; kerja harus siap kalau tidak nasi tak bersuap.

Selamat jam sepuluh saya kini berpeluh peluh. Hamba kerja di kubikel ini, saya dikerah membajak mimpi yang takkan saya tuai. Tuan puan, pun begitu?

Selamat jam dua belas lewat separuh hampir satu. Kerja bagai tak habis, tenaga makin menipis. Kepala saya rindukan nasi. Tuan puan, makan apa tengahari ini?

Selamat jam lapan lagi suku hampir sembilan. Kebahagiaan yang datang dari wang; darah dan daging tulang belulang, pun hancur saya tetap walang.

Selamat jam sembilan sudah separuh hampir sepuluh. Waktu tak menunggu, saya kelewatan. Kerja mengejek saya, katanya; "Gajimu sudah dipotong tuan!"

0 komen