Ketika mata masih terang
bibir masih basah
alis masih arang
dan pipi masih merah;
perawan duka itu ingin mengerat rambutnya dan yang dikerat adalah hatinya.
Dan di buta matanya
di kering bibirnya
di gugur alisnya
di pucat pipinya;
ada darah.
Ketika mata masih terang
bibir masih basah
alis masih arang
dan pipi masih merah;
perawan duka itu ingin mengerat rambutnya dan yang dikerat adalah hatinya.
Dan di buta matanya
di kering bibirnya
di gugur alisnya
di pucat pipinya;
ada darah.
Tidur, teman paling jahat, mengherdik mimpi dengan nista.
Dinginnya;
pagi yang tak mesra, menyapa dengan kerling mata.
Subuh pun tunduk tanpa bicara, berlalu malu.
Kerana;
muazzin itu barangkali terlupa, bahawa ia telah lama bisu.
Seekor siput itu tak pernah mengerti mengapa ia harus jadi siput; makhluk lembik lambat bertanduk dua.
Argh!
The oblique rays of lamp post by the hazy southern road lead to nothingness;
a void long avoided
a hole of sorrow
a mound dug deep
a crimson old scar.
And tragedy is now.
Ia sakit dan aku tak mahu tersenyum.
Ketika jarak adalah musuh
bas pun menderu, bunyi enjinnya
seakan ketawa
seakan mengejek
seakan mengeluh
seakan kecewa.
Aku bahkan berganda kecewa darinya.
Sebelum tidur aku kirimkan pesan ke bulan sabit;
semoga ia tak lagi sakit dan aku mau terus tersenyum.
205 Susana,
24 April 2013.