8.4.10

Sekebat Kelebat Aforisma

Lihat di Hasan Aspahani:

"/1/
AH, pohon yang tabah. Tumbuh setinggi apa yang mampu diberi oleh tanah.

/2/
YANG paling ia cintai dari rumahnya adalah Pintu, yang dengan dua kata sederhana: menutup dan menguak, bisa terbuka atau terjaga rahasia.

/3/
ITU tadi seperti kuliah singkat. Filsafat cokelat. Nama-nama bumbu asing fasih diucapkan di lidah lincah. Demi juadah, dua-tiga kerat.

/4/
TELEVISI kami restoran Minggu pagi. Kami tak memesan apa-apa. Segalanya kausajikan, Farah Quin! Ah, mata, lapar itu pasti bermula dari sana.

/5/
SEPERTI bercukur dengan pisau tumpul, aku seakan dipaksa melepas topeng yang tak kupakai. Wajahku berkarat, usia tak menyembunyikan usia.

/6/
TUHAN, kukira Dia tak mencipta bahasa. Ia serahkan urusan ini pada kecerdasan manusia. Lalu Dia pakai itu untuk wahyu-Nya.

/7/
BEGITU kukira bahasa tercipta. Kita ucap saja kata, lalu riang menafsirnya. Ketika gramatika mengikat segalanya, pada puisi berharap bahasa.

/8/
DONGENG kita akan ditutup kalimat itu juga: Lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya. Ya, kita akan bahagia. Tapi tak akan hidup selamanya.

/9/
PERLU kuberi tahu, Obama? Di negeri ini minyak dimatangkan geologi, walau pada kami tak pernah datang Nabi. Cucilah tangan, muka, dan kaki.

/10/
BERAPA lama kau di Negeri Mimpi, Alice? Selama lamaran diajukan dan penolakan kujawabkan. Tapi, tunggu, kulihat dulu arloji Si Kelinci itu.

/11/
MALAM kuning, lancang berlayar. Dia nahkoda kita yang kurang faham. Ini kapal berbendera sejengkal, tenggelam di laut tak beralamat.

/12/
KEMANA kau berjalan di waktu senja hari, Sapardi? Ah, harusnya aku tak bertanya, ya? Kenapa masih juga aku sibuk bertengkar sendiri!

/13/
AKU tertindih di dasar troli. Mencari-cari di mana label harga itu tersematkan di tubuhku. Aku harus membayar sendiri, nanti di kasir itu.

/14/
O, Coca-cola, aku pengiring kereta kuda Pemberton, ke toko farmasi itu, ke aroma gula bakar itu. O, aku tak mau jadi botolmu

/15/
PERLU kuberi tahu, Obama? Di negeri ini minyak dimatangkan geologi, walau pada kami tak pernah datang Nabi. Cucilah tangan, muka, dan kaki.

/16/
SEPERTI terbingkai di lukisanmu, Picasso. Aku kini mungkin tahu, kenapa sesekali kita perlu enggan, berbagi dengan cermin itu.

/17/
KENAPA aku harus mengingatkan pada sesuatu atau seseorang, tanya Hujan, seperti dikutip dari sebuah Puisi, seperti dipetik dari Sapardi.

/18/
KITA memang tidak menanam pohon itu. Siapa yang melempar apel ketika kita menunggu, Jobs! Ada bekas gigitan taring di daging buah itu.

/19/
PATUNG pelangi, Helvy, kolam bidadari. Itu anakmu? Anak lelaki yang memetik Puisi di ranting gaib yang tumbuh dari doamu?

/20/
KITA dua penembak berhadapan, menunggu dentang jam kota mengaba-aba, kita bertukar peluru. Tuhan, Siapa Nama-Mu?

/21/
SEPERTI selalu ada yang tertinggal di laci, di bangku sekolah yang tak berkunci. Sapardi, ya, tak perlu jatuh cinta untuk menjadi Puisi

/22/
LANGIT yang megah di hati yang mentah. Aku juru api unggun, anggota Pramuka yang malas pulang, betah di sekitar kemah.

/23/
HUJAN lebat sekali. Seperti terbawa dari Isla Negra, dari sajak Neruda. Ada lelaki kecil berpayung besar, menyeberangkan aku ke keteduhan.

/24/
'Jam berapa ya sekarang?' tanya arloji padaku. Aku kira dia sedang mati. Ternyata, dia sedang tidak percaya pada diri sendiri.

No comments: