3.11.14

Telah Kutuliskan Serangkap Sajak Paling Mulus Di Malamku Paling Sepi

Ada suatu ketika tatkala malam merebakkan sepi
melewati nyala puntung puntung rokok dan kilat pekat buih bir barli
aku tiba tiba terasa ingin menuliskan sebuah sajak mulus
perihal cintanya itu yang selalu manis bersama sama rinduku ini yang takpernah habis

Namun, kesepian, bila tak menjemput ingatan ingatan yang buruk dari masa lampau yang lapuk - adalah pesuruh kebenaran yang tabah menghindar mimpi dan pura pura dalam puisi

Demikianlah ia dengan lembutnya mengingatkan aku;

"Mimpi lagi? Lupakah kau cintanya telah padam dan kini tinggal kabur kepulan asap? Bahkan rindumu itu pun taklebih sekadar pahit yang sering kauteguk dari botol botol kaca gelap?"

Mendengarkan itu pen pun longlai di jari, aku takmampu menipu sepiku sendiri
kuakui kebenaran memang tak selalu mulus, tapi ya, puisi yang pura pura jauh lebih menyuramkan

Tapi oleh kerana pengkhianatannya terlalu sakit untuk disajakkan dan duka dukaku pula terlalu perit untuk dikarang
maka akhirnya, di lewat malam yang sepi itu akupun memutuskan untuk tidak lagi mahu menuliskan apa apa

Dan di atas helaian kertas, yang tertinggal hanyalah serangkap basah air mata.

2 komen

2.11.14

Fading Fall

Akukah yang terabaikan langit?
Atau kitakah yang telah dipudarkan musim?
Sejak malam semakin panjang
Dan lena menjadi singkat
Engkau adalah pagi yang taklagi hangat
Aku hanya ingin segera bangkit
Agar lekas gugur mimpi semalam.

2 komen

16.10.14

Sajak Sebotol Air dan Sepasang Rayban Buat Tuan Wartawan

: Bukan Tuah

Aku melihat seorang wartawan dengan sekeping placard, berarak di jalan penuh semangat
Aku menyaksikan seorang teman melaungkan apa yang dia percayai, sampai ikut bangkit seisi negeri.

Aku melihat seorang wartawan meneriakkan total democracy, agar tak ada lagi tulisan tersekat
Aku menyaksikan seorang teman berpanas di bawah terik hari, supaya tak ada rakannya dizalimi lagi.

Tekaknya perit melaungkan enggan kepada Akta Hasutan
kerana ketidakadilan memang takcukup sekadar ditentang dengan mata pena.

Matanya silau diterjah hangat hari di parlimen jalanan
kerana kebebasan memang takpercuma - ia harus dibeli dengan peluh dan teriakan suara.

(Untukmu tuan wartawan, inilah sajak sebotol air dan sepasang Rayban - sebagai pesan - agar taklupa kau bawa di lain perarakan. Ha!)
0 komen

23.9.14

Un-Lucky Strike

Rinduku seperti habuk yang diterbangkan angin
dari ciuman puntung puntung rokok yang dingin
dan engkau adalah pahit nikotin
terhembus dari padam cinta kelmarin.

0 komen

19.9.14

T408

Bangku bengkok, bocor atap besi pondok dan bas yang takjua bisa sampai -- seperti semalam, kita adalah perawi waktu (yang mencatat saat dengan taat) dan tik tok jam hanya tinggal dongeng pemunya mobil laju (yang buru buru seakan hari mau kiamat).


Taman Connaught,
Cheras
0 komen

8.9.14

Bunuh Diri

Bunuh diri memang memerlukan keberanian, kekasih
dan mencintaimu selalu cukup membunuhku
maka kerana itu aku sanggup mati seribu kali
maka keranamu aku berani hidup lebih lagi.

0 komen

28.8.14

Oh Engkau (i)

Dari dada yang terkoyak sakit,
setelah membusung segala jerit
Akankah sudi engkau jahit,
segala bekas luka dan perit?

0 komen

23.8.14

Perempuankah, Malam Itu?

Kau nyenyak di dadanya - awan yang kapas. Berselimut hangat airmata. Mimpimu adalah dongengnya, sebelum pagi membuatmu lupa.

0 komen

20.8.14

Percakapan Pagi (xii)

Barangkali kerana lelah senjanya, langitnya yang sering sunyi, bintang tak berbayang atau saja kerana embunnya yang takzim itu - semuanya seperti menyimpan sengsara - maka kupilih malam sebagai pengantinku.

0 komen

9.8.14

Etcetera (ii) : Amy Winehouse

: Love Is A Losing Game

Kata Amy; cinta itu satu permainan dan kau kan sering kalah. Yang tak disebutnya; biar menang kau takpernah, cinta akan selalu membuatmu tabah.

0 komen

Etcetera (i) : Chandramukhi

: Devdas

Kata Chandramukhi; dia tak mencintai Devdas. Dia bahkan memuja lelaki malang itu. Chandramukhi menekuni kata Nabi. Tinggal saja pelacur tak mungkin bersuami.


0 komen

7.8.14

Percakapan Pagi (xi)

: Bukan Tuah

Di waktu malam malam telah lewat
aku di rumah dan engkau di pejabat
kita akan bercakap tentang apa saja
demikianlah adakalanya kita bicara;
engkau tentang puisiku
aku pula tentang kerjamu
dan kita akan selalu berakhir dengan tersedu-mengadu tentang apa yang sebenarnya kita mahu tapi takberlaku;
"Pencen saja kerja, aku mau berpuisi!" - jeritmu
"Cukup sudah berpuisi, aku mau kerja!" - pekikku.

Kita terusnya akan menyambung berbaris baris berbual tentang entah apa lagi;
warung garuda, politik dan korupsi, sasterawan negara, wayang terkini, penyajak lama, buku puisi
seperti itulah kita kemudiannya merancang rancang sampai melompat ke seberang
membayangkan pula berpetualang ke negeri orang
dan kita akan saling menyelit kata semangat;
"Kau harus terus menulis, bersajak membebaskan luka." - pujukku
"Kau harus segera kerja, mengumpul tambang kapal terbang." - tegasmu
kitapun serentak bertempik - "Semangat!"

Begitulah gilanya kita dalam diam kata kata
bercakap seolah olah tak ada habisnya
berbual seakan akan tak ada penatnya mengabaikan waktu tak memperdulikan masa
sampai kita sama teringat - "Ah lihat, sudah betapa lewat?" (seperti kesal ia harus tamat)
aku lalu akan menyuruhmu pulang
dan engkau akan mengucap selamat
"Kita bicara lagi, nanti." - tuturmu, seayat.
"Ya, berhati hatilah memandu." - balasku, berat.

Seperti itu saja. Sampai esok pula.

(Aku akan tidur tersenyum mimpi bercakap denganmu, lagi. Engkau juga begitu, barangkali?)


0 komen

28.7.14

Doa Buat Pemilik Mata Yang Luka

Wahai si pemilik mata
di remang matamu yang luka
ada penawar yang tak tawar
menghunjam ia jatuh
api pun bisa pudar
cahaya lumpuh layuh
dunia telah berpaling tadah
hatiku karah jiwaku lelah
pundakku perit dalam sujud aku menjerit
demikian dari takbir ke takbir
kulaungkan semboyan doa
bersama sama angin gasar yang melayangkan seribu kerambit
lemparkan batu itu seperti Ababil melontar api peluru
ledakkanlah langit musuhnya!
pasakkanlah gentar di jiwa mereka!
dan betapa langit di mana mana pun adalah cermin hati manusia
awannya telah retak lukanya habis merebak
persis luka di matamu itu
menitiskan amarah dan darah yang parah dan merah
maafkanlah aku wahai si pemilik mata
aku cuma punya kata kata
yang kugubah jadi sajak dan doa
dan barangkali
kerana musuhnya lebih perkasa
kerana tuhan lebih tahu
kerana belum sampai masa
kerana janjinya bukan palsu
maka pasrahlah saja kita di medan abadi sebuah penghujung duka
tapi kita bukan gagal bahkan tidak kalah!
kami yang tinggal akan menyambung langkah!
selamat jalan kawan terbanglah bersama para syuhada
dari zaman lama ketika para anbiya memerangi dusta
semoga yang pernah rebah menjelma semula
dari debu sama kuburmu yang tak bertanda
yang kelak menjadi istanamu di suatu taman di kota syurga
yang seluas seribu tanah Gaza
dan itulah yang selayaknya untukmu si pemilik mata Palestina .. yang telah lama luka.
0 komen

10.6.14

I'm Your Addict, Baby

Sebotol Skol memang pahit, baby
berkali kuteguk buih berduri
tapi takseperit mereguk engkau
bisa yang meluluhlantakkan hati
like, literally.

Segulung ganja takjadikan aku stoner, baby
tapi since asapnya asyik menjelma muka kau
yang non-stop laughing at me
aku fikir lebih baik hisap kretek
dihinggap kanser
lalu mati.

Setiub batu made in Kampung Baru, baby
ku seru Ali bawa api
berkalih kaca kuhirup nafasmu
aku takhidup tapi aku takmati
I just felt like a zombie.

Sepaket kokain masih murah, baby
kalau tumpah pun aku takpeduli
melupakanmu itu yang mahal
aku butuh sepuluh paket lagi
biar OD.


4 komen

27.5.14

Perihal Puisi (iv)

Kadangkala Puisi pun penat menjadi puisi - yang selalu tak dimengerti
Sesekali ia mau bebas menjelma Kata - yang tak dibebankan makna

0 komen

19.2.14

Masak Sepinggan Sajak

Penyajak itu menanak puisi - perutnya berbunyi, tubuh menggeletar kerana lapar.

Penyajak itu tidak peduli - kerana puisi, ia mengabaikan nasi di pinggan yang terbiar.

3 komen

7.1.14

Percakapan Pagi (viii)

Kita sering memberi nama kepada perasaan yang kadangkala tak mengerti mengapa ia harus dinamakan

Sebab apa yang tak pernah disentuh kesedihan barangkali tak wujud, tinggallah hanya kita yang keliru;

mengapa begini?
mengapa begitu?

0 komen