10.12.15

Pesan Dan Pujuk Buat Puan Penyajak

: Felly Sophia (yang dikhabarkannya sendiri menulis sajak ia takberani)

Wahai Felly;

Pena pasti meraung dan huruf lengking melaung
- di dalam baris penuh kalut
(Ya, sungguh jenuh menjinak sajak - berkali diseru tiada bersambut)
Kata akan bertarung dan makna saling bersabung
- di dalam rangkap penuh ribut
(Ya, benar sukar menakluk sajak - serupa laut liar berkabut)

Namun cekallah saja terusan bergelut
ajari gementar jadi melarut
Kutahu Puisi mengasihimu
maka tak usah lagi engkau takut-!

0 komen

2.12.15

Depression, Homelessness and Chow Kit (i)

Pillars of time, footsteps on harsh ground, soiled by abandoned trash and that foul stench of neglect.

Paths I've visited; welcoming me.

- Zashnain Zainal (@bedlamfury)

04:38 | 021215

0 komen

1.10.15

Percakapan Petang (iii)

: Bukan Tuah

Kesedihanmu adalah kenestapaanku adalah apa yang pernah menumbuh di sebatas sajakku dulu. Aku takingat membajak walang tapi aku taklupa sebaris kata yang kau petik itu - yang kini telah kau kalungkannya di matamu - memang terangkai dari huruf huruf yang telah lama meneteskan tangis kita.

18:33 | 060915
0 komen

21.8.15

Puisi Pun Pupus

Pada "mengapa" kami tertanya; ketika kami mengabaikan Kata dan melupakan Makna, benarkah kami turut membuat Puisi menangis?

(airmata itu adalah ikatan huruf huruf yang dulu kami jalin dengan sepenuh suka dan perasaan bangga namun kini telah melerai mati tinggal jadi puing puing prosa yang kami sendiri tak lagi mengerti mengapa kami membinanya dahulu)

Pada akhir baris tulis itu, yang ada hanyalah sebuah perenggan pendek bisu dan setelahnya, sebentuk "titik" yang menikam tajam segala ragu.

Demikianlah, Puisi pun pupus.

4 komen

28.5.15

Percakapan Pagi (xiii)

Sempit! Semuanya sempit! Hidup kalau mau diludah habis basah, pun dinding dinding ini peduli apa? Himpit! Lagi terus himpit! Biar belikat bertemu belikat. Biar rusuk bersilang rusuk. Biar pecah kepala. Biar hancur daging. Biar berkecai semua! Dan di satu sudut, orang orang berpusu pusu menolak menghinjak berteriak, "Tuhan! Tuhan!". Eh, kalau darah memang merah, cuma tinggal saja hanyirnya, "Allah!"


23.05.15 3.54 AM

1 komen

20.5.15

Un-Brahma

Di antara buruj bintang yang semakin hilang, diam sesusuk dewa terbuang -- loceng loceng tak lagi berbunyi, Ananda mengarang nasibnya sendiri.

0 komen

17.5.15

Belasungkawa Dompet Ungu

Aku menuliskan ini sebagai eulogi
mengenang dompet yang hilang -
keciciran entah di mana
tak kupunya apa berharga -
cuma kad pengenalan diri (yang kumiliki sejak sepuluh tahun lalu)
dan beberapa kad bank lama -
kuning dan lusuh oleh masa
serta kertas kumal entah apa
yang kuingat resit belanja serta tiket bas sehelai dua -
terselit di antara lipatan yang sobek zipnya
Wang?
pun takkupasti berapa nilainya -
barangkali sehelai not hijau dan biru
mungkin tiga
lain lain tak ada.


Aku takmenangis bahkan takingin pun
kalau terkilan, iya
pertama kali kehilangan seperti ini -
beberapa malamnya aku gelisah, entah dompet itu sejuk ketakutan, lebih lagi parah, menangis ia mau pulang tapi jalan kembali tak ia jumpa
aku perlahan memujuk perasaan sendiri -
dompetku sudah sudah wajar berdikari
aku takmahu ia bergantung padaku lagi (bukan sebaliknya? pun iya juga)
dompet unguku sayang
engkau berjasa
engkau akan sering aku ingat sebagai sesuatu yang paling setia
semoga kita takjumpa lagi.

0 komen

18.4.15

Percakapan Petang (ii)

Di sebuah semesta lain, puisi adalah rintik rintih hujan -- kata kata meluruh dan menumbuh perasaan. Walaupun tidak ada nabi yang menukar air kepada wain, orang orang cukup mabuk dengan menghirup renyai kesedihan.

Alangkah anehnya, di sana penyair (tetap) bukan tuhan.

0 komen

12.4.15

Percakapan Petang (i)

Seperti semalam, wajahnya keruh, memandang aku selama ia duduk di bangku taman itu. Tak sepatah ia bicara. Hanya diam dan sesekali terbit jernih air dari sudut matanya yang cantik. Perempuan yang entah mengapa, harus aku jatuh kasihan padanya (barangkali kerana melihatkan kesedihannya yang tak kupahamkan itu). Demikianlah kemudian dengan perlahan lahan ku oleskan warna tubuhku pada
rambutnya
dahinya
keningnya
matanya
pipinya
hidungnya
lehernya
bahunya
dadanya
pinggangnya
dan kakinya sebelum seluruh tubuhnya ikut sewarna tubuhku. Dan betapa wajahnya terus bangkit bersinar seolah pertama kali merasa bahagia (barangkali tersedar dari kesedihan yang panjang) dan dengan senyum yang cukup manis, perlahan ia ucapkan ...

1 komen

12.2.15

Etcetera (iii) : Paro

: Devdas

Kata Devdas; Paro menghidupinya, di setiap helaan nafas. Namun yang Paro taktahu; dialah kelak yang akan mati, setelah api vilakku itu taklagi abadi.

1 komen

24.1.15

Selara Lima Pantun

Sungguh harum padi seberang
Kilaunya emas bertangkai perak
Sudah kuhulur bergantang sayang
Namun secupak berbalas tidak.

Telah kusiram sebatas mawar
Harum bunganya sayang berduri
Tabah kutuai serelung sabar
Sesudah cinta menumbuh benci.

Beras kutampi beras berantah
Habis segenggam dimakan pipit
Puas kurayu puas beralah
Orang dah benci hatinya sempit.

Aku menempuh bukit ke bukit
Memburu enau tumbuh di lembah
Aku mengaduh sakit ke sakit
Merindu engkau jauh di entah.

Saya menanam ciku sepohon
Sampai musim tidak berbuah
Saya mendendam rindu bertahun
Sampailah sayang hilang sudah...

0 komen