29.8.17

Sekhak - Goenawan Mohamad, 2010

Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu. 

Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu 

sebelum saatnya. 

Dan seekor kuda rubuh. 

Dua bidak lari ke sudut. 

Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.” 

Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap. 

Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.” 

Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!” 

Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti. 

Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”. 

Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu. 

2010


0 komen

19.4.17

Menjawab Goenawan Membaca Miguel

Demikian bicaramu;

Kuinginkan tubuhmu
dari zaman yang takpunya tanda
kecuali
warna sepia.*

...

Namun aku taklagi sepia
tubuh hitam lumpur yang sisa
akan masihkah berapi inginmu?
akan masihkah, kekasihku?

*Goenawan membaca Miguel, 1996

0 komen

6.3.17

Mampus Kau-!

Diketis ketis puntung surya dipikir pikir masuk kedalam tin habuk namun rupanya tidak malahan terbang pula ditiup angin malam lalu merebak kebawah katil; di situ sisa sisa kerumitan dan hapak takharum cengkih (bukan kanker tapi kesunyian) berkelahi memilih siapa lebih sengsara; gadis di atas katil itu atau mereka. Tapi radio di atas meja kayu di sudut kepala katil itu keras menempelak dengan lagu lagu sehabis sayu (konon ia paling derita), dengan butir butir frasa separa dangkal bernada cengeng mendodoi dongeng bahwa cinta tanpa waras itulah puja hidup yang terutama (padahal sekadar populis terbawah remeh). Gadis itu tiba tiba menangis, airmatanya jadi habuk. Semua terdiam (melulu malu dan jatuh kesal). Terus kangker di dalam hati meletus tawanya, kepada sunyi ia berkata; "mampus kau!"

0 komen

1.2.17

Percakapan Pagi (xiv)

:

Seberapa lama kita mau mengaduh tentang hidup yang berantakan sia sia?
Sampai renta namun kita takmampu -
Tinggal kita jadi akur dan melupa dan lupa dan..


BMC | 10:18AM | 300117

0 komen