26.3.25

Percakapan Pagi (xii) - (revisited)

Sempit-! Semuanya sempit-! Hidup kalau mau diludah habis basah, pun dinding dinding ini peduli apa? Himpit-! Lagi terus himpit-! Biar belikat bertemu belikat. Biar rusuk bersilang rusuk. Biar bercerai pundak. Biar pecah kepala. Biar hancur daging. Biar berkecai semua-!

Dan di satu sudut berlendir itu, orang orang dalam kebingungan yang menjijikkan akan berpusu pusu menolak, menghinjak, berteriak; "Tuhan-! Tuhan-!". Sebentar saja tuan, tuhan sedang keluar. Lalu di hujung jeda terdengar satu pernyataan gumam dalam cemas;

"Eh, kalau darah memang merah, cuma tinggal saja hanyirnya... Allah-!"


K. Damn | 26032025

0 komen

Puisi Pun Pupus (revisited)

:

Pada Mengapa kami tertanya; ketika kami mengabaikan Kata dan melupakan Makna, benarkah kami turut membuat Puisi menangis?

(Kadangkala Puisi pun penat menjadi puisi - yang selalu tak dimengerti. Sesekali ia mau bebas menjelma Kata - yang tak dibebankan Makna)

Pada akhir baris Tulis itu, yang ada hanyalah sebuah perenggan pendek bisu dan setelahnya, sebentuk Titik yang menikam tajam segala ragu.

Demikianlah, Puisi pun pupus.

0 komen

Seorang Tua Di Tepi Sebuah Toko Serbaneka (revisited)


Dingin malam yang menggetar ruh
setelah senja digenangi hujan
membaurkan lendir longkang yang hitam dan hamis
pada tepi sebuah toko serbaneka
di selapikan lusuhan kotak lama
ada neon bukan bulan
dan bintang gugur di matanya.

seorang tua itu mengerekot tidur
menyulam mimpi antara lena dan jaga
mimpi keruh wajah anaknya
(yang telah terpaling dari doa)
terkadang tinggal hanya nama tanpa figura
seiring hayat meluputkan ingat
dalam jijik dan nyanyuk kemelaratan usia.

Terdengar ratib rindu yang sama
di tiap terbit airmata tuanya
berkali dipinta agar dipasrahkan perbuangan itu
(oleh ketidakwajaran dan kurang ajar seorang anak)
demikianlah kukira tuhan tak mengabaikan 
telah ada parut bekas luka syurga
di telapak kakinya yang renta.

0 komen

23.3.25

Pantun Untuk Kanda (i)


budak budak menjala ikan

tepian sungai atas perahu;

bukan rupa yang dinda gilakan

cukup wajahmu renung tak jemu.


sulur jati alang terendak

ambil buluh dibuat pagar;

bukan harta yang dinda hendak

cukup susah sama disandar.


redup rendah si matahari,

senja datang membawa gelap;

bukan mewah yang dinda cari

cukup makan saling bersuap.


mawar merah nantikan kembang

harum melati di laman sendiri;

bukan dikisah janji berkarang

cukup menangis ada yang peduli.


hujan menderas jauh di hulu

air tempayan dibuang jangan;

bukan emas yang dinda mahu

cukup dimanja dalam pelukan.


bukan karang sebarang karang

karang bunga hiasan diraja;

bukan sayang sebarang sayang

sayang dinda batasan syurga.


Ewahhh-!

0 komen

13.3.25

Etcetera (i & ii) - Revisited

Etcetera (i) : Chandramukhi

Kata Chandramukhi; dia tak sekadar mencintai Devdas. Dia bahkan tak sekelumit ragu memuja lelaki malang itu. Sebegitu tulus Chandramukhi menekuni kata Nabi. Dalam baring menyantun kasih, ada tunduk menyembah budi. Alangkah, tinggal saja pelacur tak mungkin bersuami..


Etcetera (ii) : Paro

Kata Devdas; Paro menghidupinya, di setiap hangat helaan nafas. Pada Paro di suatu yang kelak, setelah jantung berhenti berdetak, gelaplah nyala seluruh cahaya. Akan kelam matanya, akan padam apinya - Vilakku suci buat kekasih taklagi terbakar abadi..

0 komen